Memahami Pentingnya Brand Image: Belajar dari Kasus PHK KFC

post-thumb

URUS.MY.ID - Brand image atau citra merek adalah salah satu elemen kunci dalam pemasaran modern yang dapat mempengaruhi persepsi konsumen terhadap suatu produk atau layanan. Konsep ini melibatkan bagaimana sebuah merek dilihat dan dipahami oleh konsumen, mencakup atribut-atribut emosional dan rasional yang diasosiasikan dengan merek tersebut. Dalam konteks ini, penting bagi bisnis untuk membangun dan mempertahankan citra merek yang kuat, karena brand image yang positif dapat menjadi pendorong utama kesuksesan, sementara citra merek yang buruk dapat berakibat pada penurunan kinerja perusahaan, sebagaimana yang terjadi pada KFC Indonesia.

Artikel ini akan membahas konsep brand image secara teoritis, memperkenalkan pencetus teori brand image, serta menghubungkannya dengan kasus KFC Indonesia yang mengalami penurunan penjualan dan citra merek akibat berbagai faktor eksternal dan internal.


Daftar Isi:

  1. Apa itu Brand Image?
  2. Kasus KFC Indonesia dan Penurunan Citra Merek
  3. Dampak Penurunan Brand Image pada Kinerja Perusahaan
  4. Strategi Pemulihan Citra Merek

Apa itu Brand Image?

 

Brand image didefinisikan sebagai persepsi konsumen tentang merek yang dibentuk melalui interaksi mereka dengan produk, komunikasi pemasaran, dan pengalaman langsung dengan merek tersebut. David A. Aaker, seorang ahli dalam manajemen merek, menjelaskan bahwa brand image terdiri dari sekumpulan asosiasi yang melekat pada merek dan membentuk persepsi konsumen terhadapnya. Aaker menekankan bahwa citra merek bukan hanya soal logo atau slogan, melainkan kombinasi dari seluruh pengalaman konsumen dengan merek, baik yang rasional maupun emosional.

Menurut Aaker, brand image terbagi dalam beberapa elemen utama:

  • Asosiasi merek: Persepsi konsumen tentang atribut produk, manfaat fungsional dan emosional, serta kepribadian merek.
  • Kesadaran merek: Seberapa jauh merek dikenal oleh konsumen dan dipertimbangkan dalam keputusan pembelian.
  • Loyalitas merek: Hubungan emosional dan fungsional konsumen dengan merek yang membuat mereka tetap setia membeli produk dari merek tersebut.

KFC, sebagai salah satu merek makanan cepat saji yang sangat terkenal, memiliki sejarah panjang dalam membangun brand image yang kuat melalui slogan "finger-lickin' good" dan promosi produk-produk ayam goreng yang terkenal di seluruh dunia. Namun, perubahan dalam persepsi konsumen dan situasi pasar dapat mempengaruhi citra merek tersebut, seperti yang akan dibahas dalam kasus KFC Indonesia.

 

Teori Brand Image Menurut Keller

Selain Aaker, Kevin Lane Keller juga mengembangkan teori tentang brand image yang dikenal dengan konsep Brand Resonance Pyramid. Keller menekankan pentingnya menciptakan hubungan yang kuat antara konsumen dan merek melalui berbagai tahap yang dimulai dari kesadaran merek hingga terbentuknya loyalitas yang mendalam.

Menurut Keller, ada empat tahap utama dalam membangun brand image:

  • Kesadaran Merek (Brand Identity): Mencakup kemampuan konsumen untuk mengenali dan mengingat merek.
  • Makna Merek (Brand Meaning): Mencerminkan atribut yang dikaitkan konsumen dengan merek, termasuk kualitas, inovasi, dan keunikan.
  • Respons Merek (Brand Responses): Bagaimana konsumen menilai merek, baik secara rasional maupun emosional.
  • Hubungan Merek (Brand Relationships): Loyalitas konsumen yang terbentuk melalui hubungan emosional dengan merek.

Jika sebuah merek berhasil mencapai puncak piramida ini, maka merek tersebut akan memiliki resonansi yang kuat dengan konsumen, yang berarti konsumen tidak hanya menyukai merek tersebut, tetapi juga merekomendasikannya kepada orang lain dan menjadi loyal.

Dalam konteks KFC, teori ini dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana merek KFC di Indonesia mengalami penurunan dari segi makna dan respons merek. Seiring dengan berkembangnya isu sosial dan perubahan preferensi konsumen, citra merek KFC pun terguncang.


Kasus KFC Indonesia dan Penurunan Citra Merek

 

KFC Indonesia, yang dioperasikan oleh PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), telah lama menjadi salah satu merek makanan cepat saji yang populer di Indonesia. Namun, pada tahun 2024, KFC Indonesia menghadapi tantangan besar ketika perusahaan melaporkan kerugian bersih sebesar Rp 558,75 miliar dalam sembilan bulan pertama. Kerugian ini diikuti oleh penutupan 47 gerai di seluruh Indonesia serta pengurangan ribuan karyawan​.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan kinerja KFC, tetapi salah satu yang paling mencolok adalah perubahan persepsi konsumen terhadap merek tersebut. Konflik Israel-Gaza yang terjadi pada tahun 2024 memicu boikot terhadap merek-merek yang dianggap terkait dengan negara-negara tertentu, dan KFC terkena imbas dari aksi boikot tersebut meskipun berbasis di Amerika Serikat. Penurunan jumlah pelanggan yang signifikan disebabkan oleh asosiasi negatif yang terbentuk akibat konflik tersebut, yang mempengaruhi citra merek KFC di kalangan konsumen Indonesia.

Jika kita menggunakan teori Keller, KFC di Indonesia mengalami penurunan pada tahap makna dan respons merek. Makna merek KFC yang sebelumnya kuat sebagai penyedia ayam goreng berkualitas tinggi mulai tergerus oleh isu-isu sosial yang berkembang, sementara respons konsumen, yang mencakup penilaian rasional dan emosional terhadap merek, menjadi negatif. Dampaknya, loyalitas merek menurun, dan konsumen mulai beralih ke pesaing lain.


Dampak Penurunan Brand Image pada Kinerja Perusahaan

 

Citra merek yang buruk dapat memiliki dampak langsung terhadap kinerja perusahaan, seperti yang dialami oleh KFC Indonesia. Menurut riset, penurunan brand image dapat menyebabkan:

  • Penurunan Penjualan: Konsumen yang memiliki persepsi negatif terhadap merek cenderung menghindari produk atau layanan tersebut, yang pada akhirnya berimbas pada penurunan pendapatan.
  • Penurunan Loyalitas Konsumen: Konsumen yang tidak lagi merasakan koneksi emosional atau merasa merek tidak relevan akan beralih ke kompetitor.
  • Kesulitan Membangun Kepercayaan: Brand image yang rusak mempersulit perusahaan untuk menarik kembali kepercayaan konsumen, bahkan dengan kampanye pemasaran yang intens.

Dalam kasus KFC, penurunan citra merek akibat boikot serta meningkatnya kompetisi dari restoran cepat saji lokal dan internasional lainnya membuat KFC harus berjuang keras untuk memperbaiki posisinya di pasar.


Strategi Pemulihan Citra Merek

 

Untuk mengatasi penurunan citra merek, perusahaan seperti KFC perlu mengadopsi strategi pemulihan yang fokus pada:

  • Rebranding: Melakukan pembaruan pada elemen-elemen merek seperti logo, tagline, atau pesan utama untuk menyegarkan persepsi konsumen.
  • Kampanye Komunikasi Positif: Membangun kembali hubungan dengan konsumen melalui kampanye yang fokus pada nilai-nilai sosial yang relevan, misalnya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
  • Inovasi Produk: Menawarkan produk baru atau memperbaiki kualitas produk yang sudah ada agar tetap kompetitif dan relevan dengan selera konsumen yang berubah.

Di sisi lain, KFC Indonesia juga perlu meningkatkan keterlibatannya dalam isu-isu sosial yang relevan dengan konsumen lokal, sekaligus menjaga konsistensi kualitas produk dan layanan.


Kesimpulan

Kasus KFC Indonesia mengingatkan kita akan pentingnya menjaga brand image yang kuat dan positif. Dengan memperhatikan aspek emosional dan fungsional dari sebuah merek, perusahaan dapat membangun hubungan yang lebih mendalam dengan konsumen. Untuk itu, KFC perlu mengadopsi strategi pemulihan citra merek yang berfokus pada rebranding, komunikasi yang positif, dan inovasi produk.

Merek yang kuat adalah aset tak ternilai bagi setiap perusahaan. Jika kamu ingin mempelajari lebih banyak tentang strategi bisnis, pengelolaan brand image, dan cara membangun merek yang sukses, kunjungi URUS untuk mendapatkan panduan bisnis yang lebih mendalam.